Empat kitab suci weda itu dipelajari oleh 1180 Sakha atau kelompok spiritual.
- Rg Weda dengan jumlah Mantra sebanyak 10552 dipelajari oleh 21 Sakha.
- Sama Weda dengan jumlah Mantra 1.875 dipelajari oleh 1000 Sakha.
- Yajur Weda dengan jumlah Mantra 1975 Mantra dipelajari oleh 109 Sakha ,dan
- Atharwa Weda dengan jumlah Mantra 5.967 dipelajari oleh 50 Sakha.
SAMPRADAYA (sekta) lahir dari Upanisad
Resi itu disebut Sadaka karena telah mampu melakukan Sadana atau mewujudkan ajaran suci Weda dalam kehidupannya sehari-hari. Orang yang mampu melakukan Sadana itulah yang disebut Sadaka. Sakha itu ibarat sekolah. Sedangkan kitab suci Weda itu ibarat “kurikulum” yang harus diterapkan oleh sekolah tersebut. Meskipun kurikulum yang diterapkan oleh setiap sekolah itu sama, pasti setiap sekolah itu memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan satu sekolah dengan sekolah yang lainnya. Demikian jugalah halnya dengan proses mendalami kitab suci Weda sumber ajaran Hindu. Disamping itu Weda adalah kitab suci yang sangat memberikan kemerdekaan pada setiap orang yang meyakininya menyerap ajaran Weda sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing umat.
adalah sari-sari dari pada kitab suci Weda. Dari Sakha itulah berkembang Sampradaya atau garis perguruan.Tiap-tiap garis perguruan tentunya mempertahankan ciri-ciri khas mereka atau mencapai apa yang disebut Parampara.
atau tidak putus-putusnya. Tiap-tiap Sampradaya tentunya berlomba secara sehat untuk mengimplementasikan ajaran Weda dalam meningkatkan kwalitas hidup. Perbedaan ciri khas inilah yang sering disebut SEKTA (sekte) oleh para ilmuwan social.
Sejarah Sekte di Bali
Di dalam bahasa Weda, sekte itu disebut PAKSA yang artinya bagian. Sekte-sekte itu telah ada sejak zaman Reg Weda. Munculnya sekte-sekte itu karena penonjolan pemujaan kepada Dewa-Dewa tertentu. Dewa-dewa yang terkenal di dalam Reg Weda antara adalah : agni, Indra, Marutha, Rudra dan lain-lainnya. Perkembangannya kemudian terutama zaman Upanisad, sekte-sekte itu bertambah banyak, bahkan banyak muncul sub-sekte antara lain : Saiwa, Waisnawa, Brahma, Saurapatha, Indra, Wayu, Kala, Tantrayana dan sebagainya. Sekte Saiwa terbagi menjadi 4 aliran yaitu: Ganapatha, Linggayat, Pasupatha dan Siwa Sidhanta. Demikian pula sekte yang lain juga terbagi menjadi aliran-aliran.
Sekte-sekte ini masuk ke Indonesia dan ke Bali pada tahap awal kedatangan pengaruh Hindu ke Indonesia dan Bali. Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi: Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974: 10-12). Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta.
SEKTE SIWA SIDHANTA
Kata Sidhanta merupakan akronim dari kata Sikara yang berarti Rudra, Dhakara yang berarti Iswara dan Anta yang berarti Siwa. Jadi, Siwa Sidhanta penunggalan dari hakekat Rudra, Iswara dan Siwa. Disamping itu Sikara berarti Prthivi (bumi), Dhakara yang berarti angkasa dan Anta yang berarti sorga. Jadi, Siwa Sidhanta berarti hakekat Siwa yang
menguasai ketiga dunia. (Nurkancana, 1997 : 134).
Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan.
Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.
SEKTE PASUPATA
SEKTE WAISNAWA
Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri sakti Wisnu. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.Peleburan Waisnawa dengan Siwa Sidhanta dapat dilihat dari patung Ardhanareswara dalam bentuk separuh wanita dan separuh pria yang dinamakan Hari Hara. Hari yang artinya Wisnu yang memiliki wanita dan Hara (Siwa) yang memiliki pria. Disamping itu, ada pula tokoh Sengguhu yang merupakan golongan pendeta dari kelompok Waisnawa dan mempunyai peranan dalam ritual menjelang Nyepi. (Suhardana, 2008 : 113).
Dalam upacara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada bentuk upacara seperti dibawah ini :
- Upacara Mapag Yeh, dilakukan oleh para krama subak yeh yang ditujukan kepada Dewa Wisnu.
- Mabyukukung,
upacara ini menggunakan upakara berupa banten dapetan, penyeneng, jerimpen, pangambyan, sodan, canang, raka putih kuning, toya anyar/air bersih baru di dalam sibuh yang berisi pucuk daun dapdap. Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan saktinya Dewa Wisnu. - Upacara
yang dilakukan pada saat menanam padi, dilaksanakan pada sasih kaulu, kesanga dan kedasa. Dengan menggunakan segehan nasi kepalan (nasi yang di kepal) berwarna hitam, ikan serba hitam, buah yang berwarna hitam, masawen (sawen = penanda) dengan kayu yang berwarna hitam, yang disembah
atau dipuja adalah Hyang Guru Wisnu.
SEKTE BODHA – SOGATHA
jaman yang silam. Disamping itu dalam beberapa prasasti Bali Kuna,
banyak dijumpai keterangan tentang adanya Bhisu atau pendeta Buddha di
Bali yang memakai gelar Dang Upadhyaya.
Sekte inilah yang dalam perkembangan selanjutnya diakui oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu agama resmi yang disebut agama Buddha.
Sumbangsih sekte ini dalam ritual Hindu adalah penggunaan uang kepeng yang di Bali lumbrah disebut Pis Bolong dalam berbagai upacara yadnya. Penggunaan uang kepeng sebagai sarana upacara Panca Yadnya antara lain dalam lis, orti, pedagingan, rambut sedana, pakelem, kewangen, tamiang dan lain-lain. Dalam seni budaya uang kepeng dijadikan berbagai bentuk hiasan. Kata Pis Bolong secara harfiah berarti uang yang berlubang, mengingat bentuknya di tengah-tengah berlubang. Pada permukaan uang kepeng (pis bolong) terdapat tulisan berupa huruf-huruf Cina. Warisan selanjutnya dari sekte ini berupa mantra-mantra yang mengagungkan Siwa-Buddha serta adanya Pendeta Buddha dalam eksistensi Tri Sadhaka di Bali.
SEKTE BRAHMANA
Sekte Brahmana adalah pemuja Dewa Api (Dewa Agni). Menurut kepercayaan Hindu Dewa Api identikkan dengan Dewa Brahma ini karena perkembangan pemahaman theologi tentang dewa, Dewa Agni yang pada zaman weda beralih menjadi Dewa Brahma pada zaman upanishad, sama halnya dengan Dewa Waruna menjadi dewa Wisnu dan beberapa resuffle dewa yang lainya.
Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta.
Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.
Penganut Sekte Brahmana banyak mempersembahkan wujud bhaktinya melalui upacara yang lebih banyak didominasi dengan penggunaan sarana api.
Salah satu ritual yang paling populer dari sekte ini adalah Agni Hotra (Homa Yadnya).
Warisan luhur dari Sekte Brahmana dalam Panca Yadnya secara nyata dapat kita lihat sampai sekarang adalah penggunanan api ketika melalukan ritual agama. Penggunaan api dalam ritual agama Hindu bisa berupa dupa, dipa dan api takep.
SEKTE RSI
tinggal di hutan. Mereka adalah kelompok yang arif dan suci. Di Bali
tidak diketahui adanya tempat-tempat pertapaan sebagaimana di Jawa,
sehingga keberadaan Rsi itupun tidak jelas adanya.Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci (peranda) di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria. tetapi pedanda Resi ini hanya boleh memberikan air suci kepada kelompok keluarga saja. (Suhardana, 2008 : 114)
SEKTE SORA
Pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora.Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajnya.
Bukti dari kristalisasi sekte ini dalam Siwa Shidanta yang masih kita dapat lihat lainnya adalah penggunaan sebuah mantra yang mengagungkan Dewa Siwa Raditya dalam Kramaning Sembah.
SEKTE GONAPATYA
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau dari logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura.
Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya.
Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
Konsepsi pelinggih Jero Gede Pangijeng Karang yang ada di Bali disinyalir mengadopsi konsep Dewa Ganesha.
Di Bali, Ada sebuah ritual khusus yang didedikasikan untuk menghormati Dewa Ganesha yang disebut dengan Rsi Gana.
Patut dipahami terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk pemujaan kepada Gana Pati/Ganesha (Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vignesvara (raja atas halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar dari berbagai halangan. Namun dalam penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak pernah terlepas dari penggunaan caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru (kebanyakan orang menyebut dengan istilah Caru Rsi Gana). Upacara Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan. Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima jenis warna). Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda). Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud ditambah seekor bebek putih, menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru.
SEKTE BHAIRAWA
Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini.
Mada (mabuk-mabukan), Mamsa (makan daging), Matsya (Makan Ikan), Mudra (melakukan gerak-gerik tangan seperti menari dalam ilmu Leak) merupakan ciri-ciri dari sekte ini. Sehingga dalam ritual pemujaan, bahan-bahan seperti daging, darah, arak dan berem merupakan bahan yang sering digunakan oleh sekte ini. Bukti dari kristalisasi sekte Bhairawa ke dalam Siwa Sidhanta yang masih dianut oleh umat Hindu di Bali sampai saat ini adalah adanya Segehan dan Caru serta adanya tutur Dharma Caruban.Hal unik, peninggalan sekte Bhairawa dalam bidang kuliner adalah masakan khas Bali yaitu Lawar. Lawar adalah masakan yang berbahan dari daging mentah yang dicincang, kelapa parut, racikan bumbu dan darah mentah yang diaduk sedemikian rupa hingga menimbulkan tekstur warna merah pada parutan kelapa dan memiliki cita rasa yang khas.
Menurut Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari dalam ibgwiyana, didalam lontar Sad Agama disebutkan ada 6 sekte agama Hindu di Bali yaitu : Brahma, Waisnawa, Saiwa, Bauddha, Kala dan Bayu. Apabila diteliti secara seksama, baik di dalam tradisi, maupun didalam prasasti dan kesusastraan, dapat disimpulkan sekte-sekte agama Hindu yang ada atau pemah ada di Bali adalah:
- Sekte Brahma: Homatraya dan Agenisala;
- Sekte Waisnawa: Danukrtih;
- Sekte Linggayat: Pemujaan Lingga;
- Sekte Ganapatha: Pemujaan Gana;
- Sekte Pasupatha: Pemujaan Pasupati ;
- Sekte Siwa-Siddhanta: Pemujaan Tripurusa;
- Sekte Tantrayana: Pemujaan Durga dan Dewi;
- Sekte Indra: Pemujaan Akasa dan mohon hujan;
- Sekte Kala: Mengupacarai Gunung dan Lautan;
- Sekte Sambhu: Mengupacarai Jagat;
- Sekte Bayu: Pemujaan terhadap kekuatan (pramana);
- Sekte Saurapatha: Pemujaan Surya;
- Sekte Bauddha: Pemujaan Wairocana;
KRISTALISASI SEKTA di BALI
Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte.
Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bata anyar (Pura Samuan Tiga).
Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.
Pertemuan ini akhirnya mencapai kata sepakat dengan keputusan sebagai berikut :
- Paham Tri Murti dijadikan dasar di Bali, yang berarti di dalamnya telah mencakup seluruh paham sekte yang berkembang di Bali saat itu.
- Dalam setiap Desa Pakraman (Desa Adat) supaya dibangun Kahyangan Tiga, yaitu : Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem.
- Dalam setiap rumah tangga supaya didirikan Rong Tiga (sanggah Kemulan) sebagai tempat memuja Tri Murti. Brahma di ruang kanan, Wisnu di ruang kiri dan di tengah adalah Siwa sebagai Maha Guru atau Bhatara Guru. Rong Tiga itu selain sebagai tempat memuja Tri Murti, juga difungsikan untuk memuja ruh leluhur. Ruang kanan untuk memuja leluhur laki-laki (purusa), ruang kiri untuk memuja leluhur wanita (pradana) sedangkan ruang di tengah-tengah untuk memuja leluhur yang sudah menyatu dengan Bhatara Guru. (Subandi dalam Nurkancana, 1997 : 139).
Konsensus (kesepakatan) tersebut merupakan wujud dari sinkretisme sekte-sekte yang ada pada saat itu. Wilayah Bali kemudian kembali menjadi tentram. Masing-masing sekte saling menjaga toleransi antara satu dengan lainya, ini berkat kesuksesan Mpu Kuturan sebagai pimpinan (manggala) dalam pertemuan tersebut yang menghasilkan keputusan yang mampu mengakomodir semua sekte. salah satu yang hingga dikenal hingga saat ini adalah pemujaan Dewata Nawa Sanga.
TRI SADAKA dalam hal ini adalah WARNA BRAHMANA siwa-budha-waisnawa, bukan pedanda dari soroh/wangsa/keturunan pemuja siwa, budha ataupun waisnawa, melainkan setiap orang yang menjadi sulinggih (ma-dwijati) adalah seorang sadaka.
Sekte-sekte diatas mengalami perluluhan atau sinkritisme antara yang
satu dengan yang lain. Proses perluluhannya adalah sebagai berikut:
- Perluluhan pertama terlihat pada prasasti Canggal tahun 732 di Jawa
Tengah dimana Brahma-Wisnu-Siwa dipuja dalam kesatuan vertikal dengan
mentokohkan Dewa Siwa sebagai pujaan yang utama. - Perluluhan kedua terlihat pada prasasti Klurak tahun 762 M di Jawa
Tengah antara agama Hindu (baca : Tri Murti) dengan agama Buddha
Mahayana. Perluluhan
Siwa-Buddha ini makin kuat di Jawa Timur mulai Zaman pemerintahan raja
sendok dan berlanjut sampai zaman Singosari dan zaman Majapahit serta ke
Bali. - Perluluhan ketiga terjadi secara intensif di Bali dimulai dari
periode Empu Kuturan di Bali tahun l039 M, dengan tahapan sebagai
berikut :- Sekte-sekte agama Siwa (Linggayat, Ganapatha, Pasupatha dan Siwa-Sidhanta) luluh dan menyatu ke dalam Siwa-Sidhanta.
- Sekte-sekte yang lain (selain Bauddha) luluh menjadi satu yaitu :
Tri Murti yang terdiri dari : Brahma-Wisnu-Siwa (Iswara) dalam suatu
kesatuan vertikal. - Konsepsi Tri Murti di Bali luluh dengan Konsepsi Tripurusa yang
merupakan hakekat dari pada ajaran Siwa-Sidhanta dengan menonjolkan
Paramasiwa sebagai Sang Hyang Widhi. - Konsepsi Tripurusa seperti tersebut pada butir c, luluh dengan
Konsepsi Buddha Mahayana dengan menyamakan Panca Tathagatha dengan Panca
Dewata dalam agama Hindu. Di dalam perluluhan Siwa-Budha ini, Siwaisme
lebih dominan dari pada Buddhisme.
Contoh Kristalisasi Sekta dibali
Dalam upakara dapat dilihat bahwa unsur-unsur sekta ada pada penggunaan :
- Canang Genten,
bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa
reringgitan, disusun dengan plawa (daun), porosan yang berupa sedah
berisi apuh dan jambe diikat dengan tali porosan, disusun dengan tempat
minyak, bunga dan pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci
untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma
Wisnu dan Iswara. - Gayah Urip, mempergunakan seekor babi.
Diatas kepala babi tersebut ditancapkan sembilan jenis sate yang
berbentuk senjata, yang penempatannya sesuai dengan pengideran dewata
nawa sanga. - Tirta dan Api (baik berupa dupa maupun dipa) hampir disetiap upacara menggunakannya. Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu. Api lambang Dewa Agni
- Banten Pula Gembal,
terdapat beberapa bagian yang mewakili wisnu diantaranya adalah
terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah satunya adalah
senjata cakra yang merupakan senjatanya Dewa Wisnu. Adanya unsur
Waisnawa dipertegas lagi dalam puja Pula Gembal, yaitu : Om Ganapati ya namah swaha, Om Ang brahma saraswat Dewaya Namah Swaha, Om Ung Wisnu Sri Dewyo namah swaha, Om Mang Iswara Uma Dewya namah swaha, Om Om Rudra Rudga Dewya namah swaha, Om Sri Guru Byo namah swaha. - Sate dan Lawar, merupakan implementasi dari ajaran bhairawa yang meresap di semua sisi upacara yadnya dibali.
Satu Karya Mpu Kuturan yang harusnya setiap Orang Bali wajib ketahui dan memahaminya adalah Desa Pakraman, sistem masyarakat agraris, harmonis, sederhana dengan Kayangan Tiga sebagai Tempat Pemujaan kepada Hyang Widhi, ini adalah pelaksanaan dari Sistem tatanan masyarakat berdasarkan Warnasrama Dharma, dimana setiap individu bekerja dan berinteraksi berdasarkan Guna dan Karma bukan keturunan. Namun prinsip ini kemudian lama-keamaan tergerus perkembangan system politik dan kekuasaan dan kini mulai dilupakan
Hakekat ajaran sekte-sekte itu semuanya menyatu
menjadi satu konsepsi agama Hindu dan ditopang oleh nilai-nilai alam
pikiran lokal di Bali yang hidup di masyarakat. Inilah gambaran
kehidupan agama Hindu di Bali yang telah belangsung harmonis secara
turun-temurun dalam tatanan masyarakat Hindu di Bali.
Berbeda
halnya dengan di India dimana sekte-sekte itu berdiri sendiri dan sulit
terjadinya perluluhan antara sekte yang satu dengan sekte yang lain,
bahkan bertentangan antar sekte banyak sekali
Tonton juga Ini Sejarah Bali Jaman Prasejarah